SITI NURBAYA

Senin, 27 Februari 2012

Add caption
ANTARA HUKUM DAN REALITA

    Cinta, bagi kebanyakan pemuda pemudi Indonesia adalah hal yang sangat penting sebagai dasar sebuah ikatan pernikahan meskipun bagi sebagian orang pilihan orang tua adalah yang terbaik. Bagi mereka yang mengedepankan cinta, mustahil rasanya hidup bahagia dalam bahtera rumah tangga tanpa didasari rasa Mahabbah dari hati nurani. Namun akan berseberangan jika dalam Islam ternyata orang tua (wali) mempunyai hak penuh akan siapa pendamping anak perawannya kelak sepanjang hidupnya. Bagaimana tidak, banyak terjadi kasus-kasus yang berkaitan dengan praktek Siti Nurbaya hanya karena ketidaktahuan dan kurangnya sifat bijak dalam mengambil sebuah keputusan. Untuk itu perlu adanya pengetahuan dari kedua belah pihak dan kebijakan dalam menentukan yang terbaik untuk sang buah hati.
    Dalam Islam, orang tua mempunyai hak untuk menikahkan anak perawannya. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya dan anak perawan hendaknya sang bapak meminta izin kepadanya (untuk dinikahkan), adapun izinnya adalah diam” (HR. Muslim). Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Nasa’i Nabi bersabda: “Wali tidak punya urusan dengan (anak) janda, dan anak perawan dimintai perstujuan, dan diamnya berarti setuju”. Suatu ketika Sayyidah ‘Aisyah bertanya kepada Rosulullah “Wahai Rosulullah, apakah para perempuan diajak berunding (berkonsultasi) tentang pernikahannya?”, Rosulullah menjawab “Iya”. ‘Aisyah berkata “Sesungguhnya anak perawan jika diajak konsultasi akan pernikahannya, maka dia akan malu sehingga diam”, Rosulullah bersabda “Diamnya adalah izinnya”.
Dari hadits tersebut ulama menyimpulkan bahwa jika sang anak sudah janda (tsayyib) yakni perempuan yang hilang keperawanannya dengan disetubuhi baik jalan halal ataupun haram, maka dia berhak sepenuhnya memilih pasangan hidupnya. Apabila ayah mempunyai calon untuknya, maka wajib bagi ayah untuk meminta persetujuannya. Adapun anak perawan, sang ayah punya hak untuk memaksanya menikah dan sunnah hukumnya bagi ayah untuk meminta persetujuan terlebih dahulu pada sang anak.
Hak Ijbar (memaksa nikah) bukan untuk semua orang yang bisa menjadi wali, namun khusus untuk ayah dan kakek dari ayah (ayahnya ayah) jika ayah sudah tiada. Ayah atau kakek (Wali Mujbir) berhak menikahkan anak perawan dengan tanpa persetujuan anak jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

-    Antara anak dan wali Mujbir tidak ada permusuhan yang nampak. Kalau hanya sekedar benci karena pelit atau yang lain maka tidak melanggar syarat.
-    Dinikahkan dengan laki-laki yang Kufu’ (seimbang) dalam hal nasab, agama, pekerjaan, merdeka dan tidak ada cacat.
-    Dengan menggunakan Mahar Mitsil (mas kawin perempuan-perempuan yang setara sang anak pada umumnya).
-    Berupa Naqdul Balad (yang berlaku di daerah tersebut).
-    Calon suami mampu membayar mas kawin.
-    Tidak dinikahkan dengan calon suami yang akan merugikan anak perempuan dalam Mu’asyaroh (bergaul dengan istri) seperti buta atau sudah tua.
-    Calon istri tidak mempunyai tanggungan kewajiban haji. (Al-Majmu' Syarkh Muhadzdzab)

Kalau diteliti dari syarat-syarat Ijbar, sebenarnya Islam sangat memperhatikan kesucian, kehormatan dan masa depan seorang perempuan. Sebab dengan adanya Ijbar ia tidak perlu mencari pasangan sendiri apalagi zaman sekarang hubungan antara laki-laki dan perempuan semakin beragam, mulai dari teman tapi mesra (TTM), pacaran dan lain sebagainya. Ijbar adalah metode yang pas untuk menghindarkan perempuan dari hal-hal diatas. Di samping itu masa depan seorang perempuan menjadi jelas, menikah dengan orang yang seimbang (Kufu’) dan hidupnya pun bahagia baik dari sisi moril atau materil sebab sang ayah harus benar-benar memilih calon yang tepat untuk buah hatinya.
Dalam kaca mata umum hak Ijbar orang tua ini dipandang diskriminasi terhadap kaum wanita. Hal ini bisa terjadi karena berbagai faktor, ada kalanya karena penggunaan hak yang terkesan semena-mena dari sang ayah sehingga banyak anak yang merasa tertekan. Dapat pula kesan diskriminasi muncul dari kelompok-kelompok yang ingin menghancurkan Islam dari dalam yakni dengan merusak atau merancukan pemahaman tentang hukum-hukum Islam. Sehingga pemikiran umat Islam menjadi kabur, yang benar dianggap salah karena dinilai tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan yang salah justru mendapat banyak pembelaan dan hasilnya dapat dirasakan dalam realita yang ada dan terbilang cukup sukses.
Dengan berbagai wajah dan bentuk, banyak golongan yang kontra dengan konsep Ijbar bahkan dinilai melanggar HAM sehingga bermunculan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan HAM dan emansipasi (kesetaraan hak dan derajat) perempuan berusaha untuk mengintregasikan kesetaraan dan keadilan gender dalam berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia ini demi mewujudkan kondisi yang mendukung kaum wanita untuk menikmati hak asasinya. Mereka tersusun dalam organisasi dan instansi yang beragam, managemen rapi dan mendapat sambutan yang antusias dari sekian banyak warga Indonesia khususnya kaum hawa.
Dengan berdasarkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1984 (UU No.7/1984), telah disahkan Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) disingkat menjadi CEDAW  di mana menurut aturan hukum internasional dikenal dengan istilah pacta sunt servanda, perjanjian internasional yang telah disahkan wajib dilaksanakan.  Sehingga Negara-negara dunia tidak boleh dikecualikan dari kewajiban itu bersandarkan ketentuan hukum nasional mereka.  Melainkan, jika hukum nasional mengurangi pelaksanaan sesuatu perjanjian internasional maka hukum nasional itu wajib diubah.  Kewajiban tersebut ditambah dengan pasal CEDAW yang menyatakan Negara Negara Peserta CEDAW wajib mengubah hukum nasional agar menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak wanita.
Di Indonesia, harmonisasi hukum nasional dengan ketentuan CEDAW tersebut berarti bahwa hukum negara akan diubah, selanjutnya hukum Islam dan hukum Adat akan diubah juga.  Itu karena hukum di Indonesia merupakan tiga sistem yaitu hukum Negara, hukum Islam dan hukum Adat. Namun demikian di Indonesia, penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan hak wanita maupun perubahan hukum jadi lebih rumit dari perkataan aturan hukum internasional tersebut.  Pelaksanaan CEDAW mengandung persoalan di bidang politik terutama setelah penggantian pemerintah Orde Baru dengan pemerintah Era Reformasi. Persoalan politik ditambah dengan masalah sosial yaitu perkembangan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai kebudayaan dan agama. 
Hukum Islam belum sesuai dengan CEDAW.  Dalam sistem tersebut ada ketentuan di bidang perkawinan dan kewarisan di mana  ketentuan-ketentuan di dalamnya belum berdasarkan persamaan antara pria dan wanita dan bahkan bersifat diskriminatif di muka CEDAW.    Dalam rangka sumbernya dan peraturan perundangan nasional, hukum Islam dapat diubah selaras dengan CEDAW.  Namun demikian, kemauan mengubah hukum Islam di Indonesia belum diputuskan.  Peraturan perundangan yang telah dikeluarkan tidak mengandung kemauan yang jelas.  Selanjutnya, kebijakan Parpol  dan sikap orang Indonesia belum sependapat terhadap persoalan hukum Islam dan CEDAW.  Jadi meskipun telah jelas hukum Islam belum sesuai dengan CEDAW, kemungkinan harmonisasi hukum Islam dengan CEDAW tidak yakin.
Ada kemungkinan seorang wanita dapat mencari penghapusan atau perlindungan dalam hal hak asasi melalui keberlakuan CEDAW secara disahkan UU No.7/1984.  Sebab hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional ialah berdasarkan ajaran incorporasi maupun ajaran transformasi. Ajaran incorporasi menyatakan perjanjian internasional dan kebiasaan internasional langsung berlaku dalam hukum nasional.  Dengan kata lain, hak dan kewajiban serta ketentuan hukum internasional berlaku, mengikat dan bisa ditegakkan dalam hukum nasional.  Ajaran incorporasi dilaksanakan di Amerika Serikat terhadap perjanjian internasional serta kebiasaan internasional dan dilaksanakan di Inggris hanya terhadap kebiasaan internasional. Ajaran transformasi berbunyi perjanjian internasional dan kebiasaan internasional tidak berlaku dalam hukum nasional secara tersebut kecuali melalui perundang-undangan.  Ajaran transformasi dilaksanakan di  Inggris, Perancis dan Australia terhadap perjanjian internasional dan di Australia terhadap kebiasaan internasional.
Di negara kita, tidak jelas apakah ajaran transformasi atau ajaran incorporasi yang dilaksanakan.  Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional tidak ditetapkan secara tersurat dengan UUD 1945.  Namun demikian, tata cara pengesahan perjanjian internasional yang digariskan Pasal 11 UUD 1945 beserta peraturan perundangan pelaksananya memuat kemungkinan Indonesia melaksanakan ajaran “transformasi” dan tidak melaksanakan ajaran “incorporasi”.  Dengan perkataan lain, ada kemungkinan perjanjian internasional tidak berlaku di Indonesia. Sebab dalam Pasal 11 UUD 1945 berbunyi “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”, pengertian “perjanjian dengan negara lain” tidak dijelaskan.  Perjanjian itu dapat berupa konvensi, traktat atau cuma persetejuan internasional.  Bentuk `persetujuan' DPR juga tidak dijelaskan.  Persetujuan itu dapat diucapkan dalam bentuk UU atau dengan ketetapan yang bentuk lain.  Selanjutnya, Pasal 11 UUD 1945 tidak cukup luas.  Pemerintah Indonesia hanya dapat membuat perjanjian dengan negara lain dan tidak boleh membuat perjanjian internasional dengan organisasi internasional. (keterangan tentang CEDAW dikutip dari makalah yang berjudul KEDUDUKAN WANITA DALAM HUKUM NEGARA DAN HUKUM ISLAM DI REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL, oleh Jones, Oliver Richard sebagai Laporan Program Pengalaman Lapangan (PPL) ACICIS Universitas Muhammadiyah Malang).
Terlepas dari semua tentang CEDAW apakah Negara Indonesia selaras secara CEDAW ataukah tidak, pada kenyataannya banyak warga Negara merah putih yang sangat antipati dengan perjodohan paksa. Berbagai cara dilancarkan untuk menumbuhkan rasa kontra terhadap kawin paksa, mulai dari artikel-artikel di media masa maupun internet. Munculnya buku-buku tentang gender yang memperjuangkan persamaan kaum hawa, bahkan sering sekali di televisi ditayangkan tentang kisah cinta jaman sekarang untuk memberi kesan bahwa Siti Nurbaya tidak lagi hidup di era modern yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan menghargai kebebasan setiap manusia.
Tantangan kejelian para pembaca buku dan artikel atau karya tulis lainnya juga menjadi sebuah problem saat para pejuang kontra konsep Ijbar menulis buku-buku yang bernuansa islami namun justru bertujuan mengahncurkan Islam itu sendiri. Tanpa pengetahuan keislaman yang mendalam, mereka akan terjerumus dalam kesesatan-kesesatan pemahaman yang disusupkan sedikit demi sedikit dalam setiap karya tulis khususnya para pelajar muslim yang tidak berlatar belakang pesantren. Dan memang mereka yang menjadi sasaran empuk bagi tangan-tangan kreatif sesat itu dan bahkan tanpa disadari mereka akan menjadi sepaham dan seidiologi. Jika dibaca dari awal seolah isi buku sesuai dengan ajaran Islam sebenarnya, tidak ada masalah didalamnya. Namun sepatah atau dua patah kata diselewengkan, sehingga tidak terasa oleh pembaca bahwa itu adalah penyesatan. Bayangkan, andai dalam setiap satu karya tulis terdapat satu atau dua penyelewengan, berapa banyak yang terbit setiap hari, minggu atau bahkan per bulannya dimana kebanyakan adalah buah tangan orang-orang tak bertanggungjawab, hanya mencari materi tanpa mempertimbangkan maslahat ummat bahkan mereka memang direkrut dan didanai untuk mengobrak-abrik Islam dari dalam, perlahan tapi pasti.
Demi penyesatan yang berdalih perjuangan hak, mereka sampai berani memotong dan membuang kata dari kutipan hadits yang sangat prinsipil sebagai penentuan sebuah hukum. Sebagai contoh penulis pernah membaca buku yang berjudul "Peran Wanita Muslimah di Mata Umat",  namun sengaja tidak penulis sebutkan nama pengarangnya, yang isinya sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Khonsa' binti Khidzam : "Sesungguhnya ayahku telah menikahkan aku dengan keponakannya sedangkan aku tidak menyukainya. Kemudian aku melaporkan hal itu kepada Rosulullah SAW dan beliau berkata "perkenankanlah apa yang dilakukan oleh ayahmu" maka aku berkata "tapi aku sama sekali tidak menyukai apa yang diperbuat oleh ayahku" kemudian Rosulullah SAW memberi nasehat "pulanglah dan ia tidak berhak menikahkan, menikahlah dengan laki-laki yang engkau kehendaki". Lalu aku berkata dan akhirnya aku menerima apa yang diperbuat ayahku, tetapi aku ingin supaya semua mengetahui bahwasanya tidak ada hak bagi orang tua untuk memaksakan pernikahan putrinya.
Rosulullah SAW telah menyarankan supaya Khonsa' menerima keputusan ayahnya, karena memang begitulah semestinya sikap anak. Karena seperti yang kita ketahui bahwa semua orang tua menginginkan kebaikan dan kebahagiaan bagi putra putrinya. Tetapi begitu melihat Khonsa' menolak pernikahan itu, beliau memberikan kebebasan untuk memilih dan menyelamatkannya dari kedholiman sang ayah kepada putrinya sendiri yaitu memaksa untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya.
Dua paragraph diatas menerangkan bahwa orang tua tidak memiliki hak memaksa putrinya untuk menikah berdasarkan kisah dari Khonsa' bin Khidzam dimana Rosulullah SAW memberi kebebasan untuk memilih pendamping yang dikehendakinya. Namun disitu tidak membedakan antara perawan (bikr) dan janda (tsayyib) sehingga dapat menimbulkan pemahaman bahwa orang tua sama sekali tidak memiliki hak ijbar meskipun pada anak perawannya. Padahal sudah diterangkan diatas bahwa dalam Islam ayah memiliki hak untuk menikahkan anak perawannya meski tanpa meminta persetujuan si gadis asalkan memenuhi seluruh syaratnya. Setelah penulis mencoba menelusuri tentang kisah Khonsa' diatas, ternyata dalam riwayat shohih diceritakan bahawa pada waktu kejadian itu Khonsa' binti khidzam adalah janda bukan bikr (perawan) sebagai manatermaktub dalam kitab As-Sunan Al-Kubro karya Imam Baihaqi dan dalam kitab Shohih Bukhori. Dari itu perlu hati-hati bagi para pencinta pengetahuan dan pembaca buku dalam memahami teks-teks yang dibaca, seyogyanya dicari perbandingannya dan ditelusuri bila mana mencantumkan hadits atau maqolah para ulama khawatir ada pemerkosaan redaksi ataupun yang ditulis hanya fiktif belaka.
Serangan logis juga tak henti-henti menggerilya pemikiran manusia Indonesia. Sehingga timbul penalaran logis bahwa zaman sekarang yang penuh dengan ilmu pengetahuan di mana semua orang berhak mengenyam pendidikan sudah barang tentu bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk, apalagi dalam masalah pendamping hidup. Sehingga sangat tidak logis jika masih ada pemaksaan dalam hal perjodohan hanya karena kepentingan orang tua tanpa menghiraukan perasaan sang anak yang tidak mengenal siapa dan seperti apa yang akan menjadi pendamping hidupnya. Bukankah dengan begitu orang tua justru menyakiti hati anaknya yang dinikahkan dengan selain pilihan hatinya? Kondisi seperti ini dapat membuat hubungan antara anak dan orang tua menjadi renggang atau bahkan anak menjadi durhaka kepada orang tua.
Pada kenyataannya memang demikian, jika sang anak tidak sejalan dengan pemikiran orang tuanya maka dampak negatif kepada kepribadian anak seringkali menjadi dilema. Dia menjadi pembangkang, sulit diatur, jarang komunikasi sampai ada yang kabur dari rumah atau bahkan bunuh diri.
Terlebih jika masih dalam masa pendidikan yang seharusnya fokus menimba ilmu. Tapi karena perjodohan yang tidak diinginkan, sang anak menjadi terganggu konsentrasi belajarnya. Hari-hari akan dijalani dengan sia-sia hanya melamun saja yang akhirnya tujuan orang tua untuk membekali anaknya dengan ilmu akan gagal seolah percuma membuang harta untuk biaya pendidikan.
Ditambah lagi jika mempunyai pilihan lain dan masih berhubungan, keterjerumusan anak pada pergaulan bebas tak bisa dipungkiri. Dapat dipastikan dia akan lebih memilih kekasihnya dari pada mendengar dan menuruti kemauan orang tuanya. Ujung-ujungnya pelampiasan kemarahan, kekecewaan dan pemberontakan anak dengan cara apapun akan dilakukan agar orang tuanya mau atau bahkan terpaksa memberi kesempatan pada dirinya untuk memilih siapa yang dicintai sebagai suami. Akibatnya pun fatal. Hanya dengan alasan cinta dan ingin memiliki yang dicintai seutuhnya dia rela menyerahkan jiwa raganya pada lelaki yang dicintai dan pulang-pulang sudah mengandung karena menurutnya hanya dengan jalan ini ia bisa mempertahankan cinta. Apakah sebagai orang tua tidak menyesal jika harapan kebaikan justru berbuah hal yang memalukan.
Kebanyakan orang tua bersikukuh mempertahankan kehendaknya untuk menikahkan anaknya dengan lelaki pilihan mereka apapun yang terjadi, tidak peduli apakah anaknya bahagia atau tidak. Terkadang mereka berdalih “kebahagiaan dalam hubungan pernikahan tidak dijamin hanya dengan cinta belaka”, banyak orang bahagia meski tanpa berdasar cinta”. Setelah anaknya berhasil dinikahkan, ternyata bukan kebahagiaan yang didapat akan tetapi ketidakharmonisan yang berujung percekcokan bahkan sampai perceraian. Semua menjadi rumit ditambah lagi biaya cerai setinggi langit.
Di sisi lain masih banyak pula yang mempertahankan tradisi perjodohan baik anak ataupun bapak, mereka mengaku bahagia meski tidak berawal dari pilihan hati sendiri. Ada juga yang mendefinisikan bahwa cinta sejati adalah cinta yang dibangun setelah akad nikah, jadi tak perlu terlalu mempersoalkan tentang cinta dalam menuju tali pernikahan. Mereka lebih memilih Sam’an Wa Tho’atan kepada orang tua yang telah merawat dan mendidiknya sejak lahir. Mereka percaya bahwa pilihan orang tua pasti untuk kebaikan sang anak jua. Diakui ataupun tidak yang demikian cenderung lebih sejuk dirasakan dari pada ribut berujung fatal. Semua tergantung bagaimana orang tua mendidik dan memberi pengertian sang anak dan juga penerimaan serta pemahaman sang anak akan arahan dan bimbingan orang tua.
Saat mencoba bertanya kepada beberapa perempuan tentang perjodohan paksa, jawaban mereka bervariatif dan agak sedikit menggelitik. Ada yang bilang “Enggak”artinya dia benar-benar tidak mau dijodohkan, ia hanya memilih orang yang menurutnya cocok. Ada pula yang mengatakan “Nopo terose tiang sepah”, dengan sepenuh hati ia menyerahkan semuanya kepada orang tua. Ada yang relatif, kalau cocok ya mau dan kalau tidak cocok ya maaf…nyari yang lain aja, kecuali kalau banyak duit…..
Sedang realita di sekitar kita, seorang perempuan yang benar-benar Sam’an Wa Tho’atan bagaikan satwa langka yang dilindungi dan sulit ditemukan adanya kecuali di kalangan priyayi atau kalangan orang-orang memegang teguh ajaran Islam. Sebaliknya, perempuan yang lebih memilih kebebasan banyak menyeruak di muka bumi ini bahkan memperjuangkan bagaimana caranya agar kebebasan untuk menikmati hak asasi bagi perempuan terwujud meski perjuangan mereka acap kali seolah menentang ajaran agama Islam.
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa dengan adanya sudut pandang yang berbeda antara hukum kemanusian yang dikemas dalam peraturan Negara dan hukum tuhan yang disampaikan melalui RosulNya sehingga menimbulkan karakter-karakter yang berbeda antara pro dan kontra pada konsep Ijbar, orang tua dituntut jeli untuk memahami karakter anak-anaknya, apakah tergolong pro ataukah yang kontra sehingga orang tua bisa lebih bijaksana dalam menentukan sebuah keputusan. Jika tergolong yang Sam’na Wa Tho’atan maka tiada masalah baginya untuk melakukan hak Ijbarnya dan sebaliknya jika sang anak tergolong yang kontra atau tidak jelas apakah pro ataukah kontra maka hendaknya orang tua berfikir dua kali untuk memaksakan anak pada pilihannya, sebab Rosulullah SAW. menyarankan kepada orang tua untuk menanyakan dan meminta persetujuan sang anak .
Tidak cukup sampai di situ, sang anak juga harus mengerti bahwa sebenarnya orang tua mempunyai hak atas dirinya dalam masalah memilihkan pendamping hidup. Sehingga jika dirasa ia tidak ada kecocokan maka hendaknya ia membicarakan baik-baik dengan orang tuanya dan tidak perlu melakukan hal-hal negatif yang justru memalukan orang yang telah merawatnya sejak kecil hanya karena mempertahankan cinta pada orang yang baru dikenal kemarin. Pointnya adalah perlu adanya keterbukaan antara orang tua dan anak, disertai dengan pengertian dan kebijakan tanpa melupakan kasih sayang yang sebenarnya sebagai bentuk keharmonisan yang akan tetap bertahan dan tidak bubar hanya karena terlalu memaksakan kehendak semata. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang mengerti dan bijaksana. Amiin.


Oleh : Nur Alamin  Ishaq ARTUBA
Siswa III Aliyah Madrasah Assunniyyah

Tidak ada komentar: