Jangan Meremehkan Kata-Kata Talak

Selasa, 28 Februari 2012

    Nabi Muhammad SAW. bersabda:
أبْغَضُ الْحَلاَلِ اِلىَ اللهِ الطَّلاَقُ ( رواه أبو داود و ابن ماجه و صححه الحاكم )
“Paling dibencinya perkara halal di sisi Allah adalah talak (cerai)” ( HR. Abu Daud, Ibn Majah dan dishohihkan oleh al-Hakim )
    Menurut para ulama, kata halal dalam hadis di atas yang dimaksud adalah makruh sebab sesuatu yang makruh itu masih halal dilaksanakan akan tetapi Allah tidak suka. Berarti, maksud sabda Nabi di atas; “perkara makruh paling dibenci di sisi Allah SWT. adalah cerai”. (Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar as Syatiri, Syarah Yaqut an Nafis, Hal: 617)
    Namun terkadang talak juga bisa menjadi sebuah solusi yang tepat di tengah problematika kehidupan berumah tangga ketika membawa suatu kemaslahatan yang kembali pada suami istri atau anak-anak. Ada dua problematika yang penyelesaiannya itu lebih baik dengan talak. Pertama, salah satu dari suami atau istri memiliki kelemahan dalam  memproduksi keturunan. Kedua, ketidakharmonisan dalam menjalani kehidupan berumah tangga, sehingga tidak jarang terjadi pertengkaran, percekcokan dan permusuhan. Bahkan ironisnya, sering kali pihak perempuan mendapatkan kekerasan fisik dari suaminya. (Ahmad Ali al Jurjawi, Hikmat at Tasyri' Wa Falsafatuhu, juz 2 Hal: 36-37) Akan tetapi, ini sekedar hikmah yang terselubung di balik  diperbolehkannya talak, karena itu sifatnya relatif. Terkadang masalah-masalah tersebut tidak harus diselesaikan dengan jalan talak.
    Ada masalah yang lebih urgen (penting) untuk dibahas di sini yakni kebanyakan orang Islam ternyata belum terlalu mengetahui tentang praktek talak itu sendiri, terutama tentang kapan dan bagaimana talak itu bisa jatuh?. Kurangnya pengetahuan tentang hal ini akan berakibat fatal sebab seseorang bisa terjerumus pada perzinahan hanya karena berhubungan intim dengan seseorang yang masih dianggap sebagai istrinya, padahal pernikahannya sudah batal. Atau bisa menyebabkan keragu-raguan dalam menjalani kehidupan berumah tangga sehingga dalam hati sering kali timbul pertanyaan “Pernikahanku masih sah apa tidak ?”.
    Para Salaf as Sholih  berkata:
وَالْوَسْوَسَةُ مَصْدَرُهَا الْجَهْلُ بِمَسَالِكِ الشَّرِيْعَةِ أَوْ نُقْصَانٌ فِي غَرِيْزَةِ الْعَقْلِ.
“Sumber was-was adalah tidak adanya pengetahuan tentang peraturan-peraturan syariat atau kelemahan akal”(al Hafidz an Nawawi, Majmu' Syarah al Muhadzdzab, juz 1Hal: 207)
    Berikut adalah problem seorang muslimah sehubungan dengan masalah talak yang membutuhkan jawaban menurut kaca mata Islam. Dia jatuh dalam jurang keragu-raguan nikahnya masih sah atau sudah batal?. Hal ini disebabkan suaminya sering mengucapkan kata-kata yang mengarah pada talak tapi dianggapnya biasa-biasa saja. Singkatnya, dia sering mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya. Hampir setiap hari bertengkar. Pada puncaknya, dalam keadaan emosi sang suami berkata “Aku sudah tidak sanggup lagi denganmu, lebih baik aku kembalikan saja kamu pada orang tuamu”. Beberapa bulan kemudian muslimah ini  pulang ke rumah orang tuanya karena tidak kuat. Tak lama berselang, dia memutuskan ke suaminya lagi dengan akad nikah baru dengan harapan hidupnya bisa lebih baik lagi. Tetapi harapan tersebut belum bisa tercapai juga. Suaminya tetap saja seperti yang dulu, bahkan kali ini kata-kata berbau talak semakin mengalir dari mulutnya dengan tanpa sadar, dia mengatakan “Oke kita cerai, toh dari awal kamu yang memutuskan kembali padaku”. Tapi anehnya, dia sama sekali tidak merasa menceraikan istrinya dan keesokan harinya biasa-biasa saja. Dan untuk yang ketiga kalinya dia mengatakan “Ya sudahlah, kamu gak taat lagi sama aku, kalau kamu memang tidak mau ke rumah orang tuaku, itu artinya mulai detik ini hubungan kita cukup berakhir sampai disini. Kita sudah bersih tak ada apa-apa lagi”. Esok harinya rukun lagi dan berhubungan seperti biasa.
Pertanyaannya sekarang, bagaimanakah status pernikahan keduanya? Untuk mengetahui jawabannya ikuti uraian berikut.
1.    Definisi Talak
       Secara etimologi talak berarti melepaskan ikatan. Sedangkan dalam pandangan Syara' adalah melepaskan ikatan pernikahan dengan menggunakan kata-kata talak (cerai) atau yang semisalnya. Kebolehan talak telah mendapatkan legitimasi yang sangat kuat dari dalil-dalil syariat baik al Qur'an, Hadits atau Ijma' (kesepakatan para Ulama). (Muhammad bin Ahmad ar Romli (Syafi'i Shoghir), Ghoyat al Bayan Syarah az Zubad Libni Ruslan, Hal: 261) Allah SWT. berfirman:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ (البقرة: 229)
“Talak (yang dapat dirujuk) ialah dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik” (QS. al Baqoroh (2): 229)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ  )الطلاق: 1
"Wahai Nabi, apabila Engkau menceraikan istri-istriMu maka hendaklah Engkau ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu” (QS. at Tholaq (65): 1)
2.    Pembagian Talak
            Setelah memahami definisi talak, kini saatnya memahami tentang pembagian talak yang berhubungan dengan prakteknya. Ulama fikih membagi talak menjadi beberapa bagian sesuai sudut pandanganya. Di pandang dari segi kejelasan kata-kata yang menunjukkan pada talak, talak ada dua yakni Shorih dan Kinayah. Di pandang dari segi keadaan istri ketika ditalak apakah dalam keadaan suci atau haid, maka talak dibagi menjadi tiga yakni talak Bid'ah, talak Sunnah dan bukan keduanya. Dan di pandang dari segi hubungannya dengan harta sebagai gantian dari talak, talak ada dua yakni talak Khulu’ dan talak biasa.(DR. Mushtofa al Khin dan DR. Mushtofa al Bugho, al Fiqh al Manhaji 'Ala Madzhab al Imam as Syafi'I, juz 2 Hal: 116)
Namun, pembagian talak di atas tidak akan diterangkan semuanya dalam pembahasan ini. Berdasarkan pendahuluan di atas, penulis hanya akan mengupas tentang pembagian talak dari sudut pandang yang pertama yakni talak Shorih dan Kinayah. Dengan mengetahui secara detail tentang talak shorih dan kinayah maka kita akan mengerti kapan suatu perkataan itu bisa menjadi talak dan memutuskan hubungan pernikahan.
  • Talak Shorih
        Talak Shorih adalah ucapan talak yang secara lahiriah lafadnya hanya menunjukkan pada talak. Dalam bahasa Arab, ada tiga kata yang apabila diucapkan langsung menunjukkan pada talak yakni at Tholaq, as Sarah dan al Firoq dan kata-kata yang tercetak dari ketiganya. Ketiga kata tersebut memiliki arti yang berdekatan, at Tholaq berarti perceraian, as Sarah berarti pelepasan dan al Firoq berarti perpisahan. Dalam implementasinya, kata-kata tersebut bisa menjadi talak baik dikatakan dengan bahasa Arab atau bahasa terjemahan seperti bahasa Indonesia. Berikut contohnya: “Kamu tertalak”, “Aku melepaskan kamu dari hubungan pernikahan ini”, “Aku berpisah dengan kamu” dan bentuk kalimat-kalimat lain yang memuat kata-kata di atas.(Ibid, juz 2 Hal: 116-117)
Kata-kata di atas dikategorikan shorih (jelas) dalam mengindikasikan talak sebab sering terlaku dalam lisan syara' dan diulang-ulang penyebutannya dalam al Qur'an dengan tetap bermakna talak. Allah SWT. berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ  )الطلاق: 1
“Wahai Nabi, apabila Engkau menceraikan istri-istriMu maka hendaklah Engkau ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu” (QS. at Tholaq (65): 1)
وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا  (الأحزاب: 28)
“Dan Aku ceraikan kalian (para perempuan) dengan cara yang baik” (QS. al Ahzab (33): 28)
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ (الطلاق: 2)
“Apabila mereka telah mendekati akhir ‘iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik” (QS. at Tholaq (65): 2)
Untuk bisa menjadi talak, kata-kata shorih di atas tidak membutuhkan pada niat. Ini disebabkan eksplisitifitas atau kejelasan kata-kata tersebut dalam mengindikasikan terhadap makna, sehingga baik diucapkan dengan niat atau tidak maka langsung jatuh talak. (Ibid, juz 2 Hal: 118)
  • Talak Kinayah
          Talak Kinayah adalah ucapan-ucapan yang masih mungkin berarti talak atau selainnya. Kata-kata yang masuk kategori talak kinayah banyak sekali. Diantaranya adalah: “Temuilah keluargamu”, “Pergilah sekehendakmu”, “Menjauhlah dariku”, “Mengasinglah dariku”, “Kamu haram bagiku” dan kalimat-kalimat lain yang mungkin mengarah pada talak dan mungkin pada selain talak.
Kalimat-kalimat di atas tidak akan bisa menjadi talak kalau seorang suami dalam mengucapkannya tanpa disertai niat talak, semisal dia tidak niat apa-apa sama sekali atau niat sesuatu yang lain.

3.     Syarat Sah Talak
        Syarat sah jatuhnya talak ada tiga yaitu telah terjalinnya akad nikah di antara keduanya, sang suami telah sempurna akalnya (bukan anak kecil, gila atau sedang tertidur) dan tidak dipaksa. Dari syarat yang ketiga ini bisa disimpulkan bahwasannya talak juga bisa jatuh meskipun diucapkan dengan main-main.(Ibid, juz 2 Hal: 124-125)

4.    Bilangan Talak
       Secara asal hak talak berada di tangan suami sebagaimana firman Allah SWT.:
أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ  (البقرة: 237)
“atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah” (QS. al Baqoroh (2): 237)
    Hak talak yang dimiliki oleh suami adalah tiga kali. Maksudnya boleh baginya mentalak istrinya sampai tiga kali. Dua kali talak statusnya adalah Tholaq Roj'iy dan yang terakhir adalah Tholaq Ba'in Kubro.
  •   Tholaq Roj'iy adalah talak pertama atau kedua yang dijatuhkan suami setelah dia pernah menggauli istrinya, di mana setelah itu masih diperbolehkan baginya kembali atau rujuk padanya selama masih dalam keadaan ‘iddah.
  •  Tholaq Ba'in Kubro adalah talak tiga (baik dalam satu waktu atau dilakukan tiga kali dalam waktu yang berbeda) di mana setelah itu suami tidak boleh kembali lagi pada istrinya dengan cara rujuk. 
  •  Tholaq Bain Shughro adalah talak pertama atau kedua yang dijatuhkan selama suami tidak pernah menggauli istrinya atau pernah menggaulinya namun ‘iddah istri telah habis atau talak dengan cara Khulu' (talak dengan cara istri memberikan harta kepada suami atas keinginan dia sendiri).
    Apabila talak yang jatuh pada istri adalah talak Ba’in Kubro atau Shugro, maka bagi suami tidak bisa lagi kembali pada istrinya dengan hanya rujuk. Dia bisa kembali padanya dengan cara akad nikah dan mahar yang baru atas keridhoan istrinya ketika sudah terpenuhinya lima syarat berikut:
1.    ‘Iddahnya telah selesai.
2.    Menjalin hubungan pernikahan lagi dengan laki-laki lain dengan akad nikah yang sah.
3.    Suami yang kedua pernah menggaulinya (baca; menjima'nya) secara hakiki.
4.    Suami yang kedua menceraikannya atau meninggal dunia.
5.    ‘Iddahnya dengan suami yang kedua telah selesai.
Itu adalah peraturan asal tentang siapakah yang memiliki hak talak. Akan tetapi istri pun pada sebagian keadaan diberi hak untuk menuntut cerai yakni ketika dia mendapat perlakuan kasar dari suaminya sehingga membahayakan keselamatannya atau ketika suami tidak mampu memenuhi hak-hak istrinya yang kemudian terjadi kesulitan untuk mencari jalan yang terbaik bagi keduanya. Maka dalam dua kondisi tersebut boleh bagi Qodhi (hakim nikah) untuk menjatuhkan talak terhadap pihak perempuan berdasarkan kehendaknya.(Ibid, juz 2 Hal: 123 dan 133-137)

‘IDDAH
    Untuk mendalami talak, maka juga harus mengetahui tentang apa itu ‘Iddah. Sebab setelah seorang perempuan diceraikan oleh suaminya maka dia harus menjalani masa yang namanya ‘iddah. ‘Iddah adalah masa di mana seorang perempuan menunggu kepastian kekosongan rahimnya dari janin yang kemungkinan dibuahi oleh suaminya. Hal ini bisa diketahui dengan cara melahirkan, menunggu beberapa bulan atau melalui beberapa kali tahap suci dari haid.
    Perempuan yang mengalami masa ‘iddah dibagi menjadi dua. Pertama, perempuan yang ditinggal mati suaminya. Kedua, perempuan yang tidak ditinggal mati suaminya yakni yang diceraikan. Masing-masing dari kedua perempuan tersebut ‘iddahnya adalah sampai melahirkan apabila ketika itu memang dalam keadaan hamil. Apabila tidak dalam keadaan hamil maka untuk perempuan pertama ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari dan untuk perempuan yang kedua, apabila tidak dalam keadaan hamil ‘iddahnya masih diperinci. Apabila dia masih bisa haid maka ‘iddahnya adalah tiga kali suci dari haid dan apabila belum pernah haid atau sudah tidak haid lagi maka ‘iddahnya tiga bulan.(Syekh Ibnu al Qosim al Ghuza, Hamisy Hasyiah al Bajuri (Fathul Qorib), juz 2 Hal: 167-171)
    Dari uraian ini, maka sekarang kita terapkan pada kasus di atas secara terperinci.
  •  Ucapan Pertama “Aku sudah tidak sanggup lagi denganmu, lebih baik aku kembalikan saja kamu pada orang tuamu”.
    Ucapan ini sangat jelas sekali menunjukkan pada talak kinayah sebagaimana uraian di atas. Untuk bisa menjadi talak maka membutuhkan terhadap niat dari sang suami. Apabila dia mengucapkannya dengan niat talak maka jatuhlah talak kesatu dan apabila tidak disertai niat talak maka talak tidak jatuh.
    Talak pertama ini bisa dikategorikan Roj'iy ketika suami pernah menggauli istrinya. Maka dia bisa kembali lagi pada istrinya di tengah masa ‘iddah dengan cara rujuk. Apabila masa ‘iddahnya telah habis sedangkan dia belum rujuk, maka hak rujuk telah hilang dan untuk bisa kembali lagi dia harus menggunakan akad nikah dan mahar yang baru atas keridhoan sang istri.
  •    Akad Nikah Baru
    Apabila ucapan talak kinayah di atas memang benar-benar disertai niat talak maka jatuhlah talak satu. Akad nikah baru tersebut bisa dikatakan tepat ketika talaknya masuk kategori talak Ba'in Shugro. Yakni suami menjatuhkan talaknya sebelum pernah menggauli istrinya atau pernah menggauli tapi masa ‘iddah talak telah habis, di mana dalam masa tersebut suami tidak melakukan rujuk pada istrinya.
  •    Ucapan Kedua “Oke kita cerai, toh dari awal kamu yang memutuskan kembali padaku”
    Tidak diragukan lagi bahwa ucapan yang kedua ini sangat mengarah pada talak Shorih sebab ada kata “cerai”. Maka talak yang kedua pun jatuh walaupun tidak disertai niat talak ketika mengucapkan. Konsekuensi dari hal ini adalah hak talak suami tinggal satu kali lagi. Sama halnya dengan sebelumnya, untuk bisa kembali lagi pada istrinya maka suami cukup rujuk saja dengan kata-kata yang menunjukkan pada kehendak untuk kembali. Rujuk ini bisa dilakukan apabila talaknya termasuk talak Raj'iy. Sekarang, mungkin sang suami pernah menggauli istrinya tapi apakah dia dalam masa ‘iddah talak yang kedua mau rujuk pada istrinya? Apabila tidak segera rujuk sampai ‘iddahnya habis maka harus akad nikah dan mahar baru lagi atas keridhoan sang istri.
  •   Ucapan ketiga “Ya sudahlah, kamu gak taat lagi sama aku, kalau kamu memang tidak mau kerumah orang tuaku, itu artinya mulai detik ini hubungan kita cukup berakhir sampai disini. Kita sudah bersih tak ada apa-apa lagi”
    Ucapan ini dikeluarkan setelah istri tidak mau memenuhi keinginan suami untuk kembali pada orang tua suami. Maka ucapan ini tergolong talak Mu’allaq yakni talak yang digantungkan terhadap terjadinya sesuatu. Talak ini bisa jatuh apabila disertai niat sebab termasuk talak kinayah. Apabila memang ucapan yang ketiga ini disertai niat talak, maka hak talak suami yang ada tiga telah habis. Talak yang ketiga ini tergolong talak Ba’in Kubro. Untuk kembali pada istrinya, sang suami tidak bisa lagi menggunakan rujuk sebagaimana sebelumnya. Dia bisa kembali padanya dengan cara akad nikah dan mahar yang baru atas keridhoan dari mantan istrinya ketika sudah memenuhi lima syarat yang telah disebutkan di atas. Wallahu A’lam

Oleh: Muhammad Hamdi
Santri Assunniyyah

BERSUNNAH DI ATAS CERMIN

                 
    Segala puji bagi Allah yang telah  membentangkan langit tanpa pilar dan yang telah menghias bumi dengan berbagai macam cakrawala. Sholawat beserta salam Allah semoga tetap tercurahkan keharibaan kekasihNya Muhammad SAW.
    Berbicara tentang ibadah, ibadah adalah bentuk Mashdar dari kata  'Abada  yang artinya adalah menyembah. Dengan kata lain ketika seorang hamba melaksanakan rutinitas ibadah maka di situ terdapat sebuah komunikasi khusus antara hamba tersebut dengan tuhannya. Sudah maklum adanya bahwa ibadah terbagi atas dua sifat, adakalanya ibadah itu bersifat wajib adapula yang bersifat sunnah. Namun di sini penulis hanya akan menguraikan tentang ibadah yang sunnah saja.
    Ibadah sunnah sangatlah banyak, diantaranya yaitu sholat malam dan puasa tiga hari setiap bulannya. Alasan kenapa penulis mencontohkan sholat dan puasa adalah dikarnakan dua ibadah inilah yang sangat berpotensi bagi seorang hamba untuk lebih mendekatkan dirinya pada tuhannya. Namun ada baiknya bagi pembaca yang budiman terlebih dahulu mengetahui apa itu sholat malam  dan apa itu puasa.

SHOLAT MALAM
    Sholat malam dapat pula didefinisikan sebagai sholat Tahajjud. Sedangkan tahajjud secara etimologi (bahasa) adalah berusaha bangun di waktu malam, dan  menurut isthilah fikih sholat tahajjud adalah sholat yang dilakukan setelah sholat Isya'. Perlu diketahui bahwa sholat tahajjud baru boleh dilakukan setelah seseorang  bangun dari tidurnya pada malam hari meskipun tidurnya sebelum sholat isya' yaitu di waktu magrib. (al  Bujairimi ‘Ala al Khotib, juz 2 Hal: 61, perc. DKI)
    Pahala dari sholat tahajjud sudah bisa diraih dengan melakukan sholat apapun. Dalam artian tidak ada ketentuan khusus dari syariat, baik yang dikerjakan adalah sholat Ba'diah  isya', Witir, sholat Tasbih, Istikhoroh bahkan sholat fardlu sekalipun meski adanya kefardluan itu merupakan qodlo' atau nadzar.
    Di awal kedatangan Islam sholat tahajjud hukumnya wajib dan Imam al Manawi berpendapat bahwa hukum wajib tersebut adalah khusus bagi baginda Rosul Muhammad SAW. Sebagaimana firman Allah:
قُمِ اللَّيْلَ إِلاَّ قَلِيْلاً. (المزمل: 2)
“Dan berdirilah pada waktu malam kecuali sedikit.”(QS. al Muzammil: 2)         
    Dan juga berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan Imam al Thobaroni dan al Baihaqi:
ثَلاَ ثُهُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضُ وَلَكُمْ سُنَّةٌ الْوِتْرُ وَالسِّوَاكُ وَقِيَامُ اللَّيْلِ.
"Tiga hal yang adanya wajib bagiku dan bagi kalian adalah sunnah yaitu sholat witir, bersiwak dan Qiyam al Lail".
    Hujjah dari Imam al Manawi ini mendapatkan banyak respon positif dari kalangan para ulama yang di antaranya adalah Imam Rofi'i. Bahkan Imam Nawawi mengeluarkan statemen yang beliau petik dari pendapat Syekh Abu Hamid  bahwasanya hukum sholat tahajjud di awal kedatangan Islam adalah wajib bagi Nabi Muhammad dan seluruh umatNya. Namun kemudian hukum wajib tersebut direvisi oleh firman Allah dalam surat al Muzzammil ayat 20:
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ ( المزمل: 20)
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (Sholat) kurang dari dua pertiga malam, seperdua malam atau sepertiganya dan demikian pula orang-orang yang bersama kamu.” (QS. al  Muzzammil: 20)
    Perbedaan pendapat di atas adalah ketika masa-masa awal datangnya Islam. Sementara di era perkembanagan Islam semua ulama sepakat bahwa hukum dari sholat tahajjud adalah sebatas Sunnah Muakkad dan hukum tersebut bisa berubah menjadi wajib bila dinadzari.

PUASA SUNNAH
    Seperti yang termaktub dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh seperti berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلاَثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيِ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ.
Dari Abu Huroiroh RA. barkata “Telah berwasiat kepadaku kekasihku (Nabi Muhammad SAW.) atas tiga hal: Berpuasa  tiga hari setip bulannya, melaksanakan dua rokaat sholat dluha dan melakukan sholat witir sebelum aku tidur.”
    Dalam hadits di atas termaktub kata berpuasa tiga hari setiap bulannya. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsiri hadis di atas. Ada yang menguraikan bahwa yang dikehendaki dari kata tiga hari di atas adalah Ayyamul Bidl (tanggal 13,14 dan 15 jawa atau hijriyah pada setiap bulan) seperti hadits yang diriwayatkan Jarir bin Abdillah.
    Sementara pendapat yang lain mengatakan bahwa puasa tiga hari di atas adalah  puasa yang dilakukan sekali setiap sepuluh hari. Keterangan ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasa'i sebagai berikut:
وعن النسائي قال, قال النبي صلي الله عليه وسلم : صُمْ مِنْ كُلِّ عَشْرَةِ أَيَّامٍ يَوْمًا وَقِيْلَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ .



KESIMPULAN
    Sholat tahajjud dan puasa  berdasarkan keterangan yang telah penulis uraikan di atas hukumnya adalah sunnah bagi umat Nabi Muhammad. Dalam sebuah hadis dijelaskan tentang Kaifiah atau tata cara dalam melakukan ibadah sunnah dengan detail dan konkret. Hadis tersebut termaktub dalam  sebuah kitab berjudul Hasyiah ‘Ala Mukhtashor Ibni Abi Jamroh halaman 157 yang konklusinya adalah bahwa Nabi sangat menganjurkan atas umatNya agar melakukan ibadah sunnah baik sholat tahajjud atau puasa. Beliau pun mengatakan bahwa sebaik-baiknya puasa sunnah yang disenangi oleh Allah adalah praktek puasanya Nabi Daud AS. yaitu menyelang nyelingkan puasa, Nabi juga bersabda bahwa ibadah sholat sunnah yang lebih disenangi oleh Allah adalah praktek sholat Nabi Daud AS. Berikut haditsnya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ لِيْ النَّبِيُّ صلي الله عليه وسلم أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ صِيَامُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا, وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ دَاوُدَ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُوْمُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ .
Dari Abdulloh bin Umar RA. beliau berkata: Nabi SAW. telah bersabda padaku "Lebih  disenanginya ibadah puasa sunnah di sisi Allah ‘Azza Wa Jalla adalah puasanya Nabi Daud AS., beliau berpuasa sehari  dan esoknya tidak, begitupula sholat yang lebih disenangi  di sisi Allah adalah sholatnya Nabi Daud, beliau tidur di pertengahan malam dan bertahajud di sepertiga malam kemudian tidur lagi di seperenam malam.”
    Allah mensyari'atkan sesuatu dikarenakan di dalamnya terdapat sebuah keutamaaan. Semisal dalam tahajud, di sana terdapat sebuah derajat yang  tidak bisa dicapai kecuali dengan melakukanya. Allah berfirman:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا ( الاسراء: 79 )
“Dan pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan tuhanmu mengangkat kamu pada derajat yang terpuji.” (QS. al Isro’: 79)
    Sedangkan dalam puasa terdapat suatu jaminan kesehatan seperti yang telah disabdakan Nabi SAW.:
صُوْمُوْا تَصِحُّوْا.
“Berpuasalah kalian maka niscaya kesehatan bagi kalian.”
    Cukup sekian uraian-uraian dari penulis, kurang lebihnya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.


Oleh : Ahmad Wahyudi al Adnan
Siswa 1 Aly Assunniyyah

   

xdzfcAFESFsddd2d32d32

SITI NURBAYA

Senin, 27 Februari 2012

Add caption
ANTARA HUKUM DAN REALITA

    Cinta, bagi kebanyakan pemuda pemudi Indonesia adalah hal yang sangat penting sebagai dasar sebuah ikatan pernikahan meskipun bagi sebagian orang pilihan orang tua adalah yang terbaik. Bagi mereka yang mengedepankan cinta, mustahil rasanya hidup bahagia dalam bahtera rumah tangga tanpa didasari rasa Mahabbah dari hati nurani. Namun akan berseberangan jika dalam Islam ternyata orang tua (wali) mempunyai hak penuh akan siapa pendamping anak perawannya kelak sepanjang hidupnya. Bagaimana tidak, banyak terjadi kasus-kasus yang berkaitan dengan praktek Siti Nurbaya hanya karena ketidaktahuan dan kurangnya sifat bijak dalam mengambil sebuah keputusan. Untuk itu perlu adanya pengetahuan dari kedua belah pihak dan kebijakan dalam menentukan yang terbaik untuk sang buah hati.
    Dalam Islam, orang tua mempunyai hak untuk menikahkan anak perawannya. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya dan anak perawan hendaknya sang bapak meminta izin kepadanya (untuk dinikahkan), adapun izinnya adalah diam” (HR. Muslim). Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Nasa’i Nabi bersabda: “Wali tidak punya urusan dengan (anak) janda, dan anak perawan dimintai perstujuan, dan diamnya berarti setuju”. Suatu ketika Sayyidah ‘Aisyah bertanya kepada Rosulullah “Wahai Rosulullah, apakah para perempuan diajak berunding (berkonsultasi) tentang pernikahannya?”, Rosulullah menjawab “Iya”. ‘Aisyah berkata “Sesungguhnya anak perawan jika diajak konsultasi akan pernikahannya, maka dia akan malu sehingga diam”, Rosulullah bersabda “Diamnya adalah izinnya”.
Dari hadits tersebut ulama menyimpulkan bahwa jika sang anak sudah janda (tsayyib) yakni perempuan yang hilang keperawanannya dengan disetubuhi baik jalan halal ataupun haram, maka dia berhak sepenuhnya memilih pasangan hidupnya. Apabila ayah mempunyai calon untuknya, maka wajib bagi ayah untuk meminta persetujuannya. Adapun anak perawan, sang ayah punya hak untuk memaksanya menikah dan sunnah hukumnya bagi ayah untuk meminta persetujuan terlebih dahulu pada sang anak.
Hak Ijbar (memaksa nikah) bukan untuk semua orang yang bisa menjadi wali, namun khusus untuk ayah dan kakek dari ayah (ayahnya ayah) jika ayah sudah tiada. Ayah atau kakek (Wali Mujbir) berhak menikahkan anak perawan dengan tanpa persetujuan anak jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

-    Antara anak dan wali Mujbir tidak ada permusuhan yang nampak. Kalau hanya sekedar benci karena pelit atau yang lain maka tidak melanggar syarat.
-    Dinikahkan dengan laki-laki yang Kufu’ (seimbang) dalam hal nasab, agama, pekerjaan, merdeka dan tidak ada cacat.
-    Dengan menggunakan Mahar Mitsil (mas kawin perempuan-perempuan yang setara sang anak pada umumnya).
-    Berupa Naqdul Balad (yang berlaku di daerah tersebut).
-    Calon suami mampu membayar mas kawin.
-    Tidak dinikahkan dengan calon suami yang akan merugikan anak perempuan dalam Mu’asyaroh (bergaul dengan istri) seperti buta atau sudah tua.
-    Calon istri tidak mempunyai tanggungan kewajiban haji. (Al-Majmu' Syarkh Muhadzdzab)

Kalau diteliti dari syarat-syarat Ijbar, sebenarnya Islam sangat memperhatikan kesucian, kehormatan dan masa depan seorang perempuan. Sebab dengan adanya Ijbar ia tidak perlu mencari pasangan sendiri apalagi zaman sekarang hubungan antara laki-laki dan perempuan semakin beragam, mulai dari teman tapi mesra (TTM), pacaran dan lain sebagainya. Ijbar adalah metode yang pas untuk menghindarkan perempuan dari hal-hal diatas. Di samping itu masa depan seorang perempuan menjadi jelas, menikah dengan orang yang seimbang (Kufu’) dan hidupnya pun bahagia baik dari sisi moril atau materil sebab sang ayah harus benar-benar memilih calon yang tepat untuk buah hatinya.
Dalam kaca mata umum hak Ijbar orang tua ini dipandang diskriminasi terhadap kaum wanita. Hal ini bisa terjadi karena berbagai faktor, ada kalanya karena penggunaan hak yang terkesan semena-mena dari sang ayah sehingga banyak anak yang merasa tertekan. Dapat pula kesan diskriminasi muncul dari kelompok-kelompok yang ingin menghancurkan Islam dari dalam yakni dengan merusak atau merancukan pemahaman tentang hukum-hukum Islam. Sehingga pemikiran umat Islam menjadi kabur, yang benar dianggap salah karena dinilai tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan yang salah justru mendapat banyak pembelaan dan hasilnya dapat dirasakan dalam realita yang ada dan terbilang cukup sukses.
Dengan berbagai wajah dan bentuk, banyak golongan yang kontra dengan konsep Ijbar bahkan dinilai melanggar HAM sehingga bermunculan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan HAM dan emansipasi (kesetaraan hak dan derajat) perempuan berusaha untuk mengintregasikan kesetaraan dan keadilan gender dalam berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia ini demi mewujudkan kondisi yang mendukung kaum wanita untuk menikmati hak asasinya. Mereka tersusun dalam organisasi dan instansi yang beragam, managemen rapi dan mendapat sambutan yang antusias dari sekian banyak warga Indonesia khususnya kaum hawa.
Dengan berdasarkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1984 (UU No.7/1984), telah disahkan Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) disingkat menjadi CEDAW  di mana menurut aturan hukum internasional dikenal dengan istilah pacta sunt servanda, perjanjian internasional yang telah disahkan wajib dilaksanakan.  Sehingga Negara-negara dunia tidak boleh dikecualikan dari kewajiban itu bersandarkan ketentuan hukum nasional mereka.  Melainkan, jika hukum nasional mengurangi pelaksanaan sesuatu perjanjian internasional maka hukum nasional itu wajib diubah.  Kewajiban tersebut ditambah dengan pasal CEDAW yang menyatakan Negara Negara Peserta CEDAW wajib mengubah hukum nasional agar menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak wanita.
Di Indonesia, harmonisasi hukum nasional dengan ketentuan CEDAW tersebut berarti bahwa hukum negara akan diubah, selanjutnya hukum Islam dan hukum Adat akan diubah juga.  Itu karena hukum di Indonesia merupakan tiga sistem yaitu hukum Negara, hukum Islam dan hukum Adat. Namun demikian di Indonesia, penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan hak wanita maupun perubahan hukum jadi lebih rumit dari perkataan aturan hukum internasional tersebut.  Pelaksanaan CEDAW mengandung persoalan di bidang politik terutama setelah penggantian pemerintah Orde Baru dengan pemerintah Era Reformasi. Persoalan politik ditambah dengan masalah sosial yaitu perkembangan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai kebudayaan dan agama. 
Hukum Islam belum sesuai dengan CEDAW.  Dalam sistem tersebut ada ketentuan di bidang perkawinan dan kewarisan di mana  ketentuan-ketentuan di dalamnya belum berdasarkan persamaan antara pria dan wanita dan bahkan bersifat diskriminatif di muka CEDAW.    Dalam rangka sumbernya dan peraturan perundangan nasional, hukum Islam dapat diubah selaras dengan CEDAW.  Namun demikian, kemauan mengubah hukum Islam di Indonesia belum diputuskan.  Peraturan perundangan yang telah dikeluarkan tidak mengandung kemauan yang jelas.  Selanjutnya, kebijakan Parpol  dan sikap orang Indonesia belum sependapat terhadap persoalan hukum Islam dan CEDAW.  Jadi meskipun telah jelas hukum Islam belum sesuai dengan CEDAW, kemungkinan harmonisasi hukum Islam dengan CEDAW tidak yakin.
Ada kemungkinan seorang wanita dapat mencari penghapusan atau perlindungan dalam hal hak asasi melalui keberlakuan CEDAW secara disahkan UU No.7/1984.  Sebab hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional ialah berdasarkan ajaran incorporasi maupun ajaran transformasi. Ajaran incorporasi menyatakan perjanjian internasional dan kebiasaan internasional langsung berlaku dalam hukum nasional.  Dengan kata lain, hak dan kewajiban serta ketentuan hukum internasional berlaku, mengikat dan bisa ditegakkan dalam hukum nasional.  Ajaran incorporasi dilaksanakan di Amerika Serikat terhadap perjanjian internasional serta kebiasaan internasional dan dilaksanakan di Inggris hanya terhadap kebiasaan internasional. Ajaran transformasi berbunyi perjanjian internasional dan kebiasaan internasional tidak berlaku dalam hukum nasional secara tersebut kecuali melalui perundang-undangan.  Ajaran transformasi dilaksanakan di  Inggris, Perancis dan Australia terhadap perjanjian internasional dan di Australia terhadap kebiasaan internasional.
Di negara kita, tidak jelas apakah ajaran transformasi atau ajaran incorporasi yang dilaksanakan.  Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional tidak ditetapkan secara tersurat dengan UUD 1945.  Namun demikian, tata cara pengesahan perjanjian internasional yang digariskan Pasal 11 UUD 1945 beserta peraturan perundangan pelaksananya memuat kemungkinan Indonesia melaksanakan ajaran “transformasi” dan tidak melaksanakan ajaran “incorporasi”.  Dengan perkataan lain, ada kemungkinan perjanjian internasional tidak berlaku di Indonesia. Sebab dalam Pasal 11 UUD 1945 berbunyi “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”, pengertian “perjanjian dengan negara lain” tidak dijelaskan.  Perjanjian itu dapat berupa konvensi, traktat atau cuma persetejuan internasional.  Bentuk `persetujuan' DPR juga tidak dijelaskan.  Persetujuan itu dapat diucapkan dalam bentuk UU atau dengan ketetapan yang bentuk lain.  Selanjutnya, Pasal 11 UUD 1945 tidak cukup luas.  Pemerintah Indonesia hanya dapat membuat perjanjian dengan negara lain dan tidak boleh membuat perjanjian internasional dengan organisasi internasional. (keterangan tentang CEDAW dikutip dari makalah yang berjudul KEDUDUKAN WANITA DALAM HUKUM NEGARA DAN HUKUM ISLAM DI REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL, oleh Jones, Oliver Richard sebagai Laporan Program Pengalaman Lapangan (PPL) ACICIS Universitas Muhammadiyah Malang).
Terlepas dari semua tentang CEDAW apakah Negara Indonesia selaras secara CEDAW ataukah tidak, pada kenyataannya banyak warga Negara merah putih yang sangat antipati dengan perjodohan paksa. Berbagai cara dilancarkan untuk menumbuhkan rasa kontra terhadap kawin paksa, mulai dari artikel-artikel di media masa maupun internet. Munculnya buku-buku tentang gender yang memperjuangkan persamaan kaum hawa, bahkan sering sekali di televisi ditayangkan tentang kisah cinta jaman sekarang untuk memberi kesan bahwa Siti Nurbaya tidak lagi hidup di era modern yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan menghargai kebebasan setiap manusia.
Tantangan kejelian para pembaca buku dan artikel atau karya tulis lainnya juga menjadi sebuah problem saat para pejuang kontra konsep Ijbar menulis buku-buku yang bernuansa islami namun justru bertujuan mengahncurkan Islam itu sendiri. Tanpa pengetahuan keislaman yang mendalam, mereka akan terjerumus dalam kesesatan-kesesatan pemahaman yang disusupkan sedikit demi sedikit dalam setiap karya tulis khususnya para pelajar muslim yang tidak berlatar belakang pesantren. Dan memang mereka yang menjadi sasaran empuk bagi tangan-tangan kreatif sesat itu dan bahkan tanpa disadari mereka akan menjadi sepaham dan seidiologi. Jika dibaca dari awal seolah isi buku sesuai dengan ajaran Islam sebenarnya, tidak ada masalah didalamnya. Namun sepatah atau dua patah kata diselewengkan, sehingga tidak terasa oleh pembaca bahwa itu adalah penyesatan. Bayangkan, andai dalam setiap satu karya tulis terdapat satu atau dua penyelewengan, berapa banyak yang terbit setiap hari, minggu atau bahkan per bulannya dimana kebanyakan adalah buah tangan orang-orang tak bertanggungjawab, hanya mencari materi tanpa mempertimbangkan maslahat ummat bahkan mereka memang direkrut dan didanai untuk mengobrak-abrik Islam dari dalam, perlahan tapi pasti.
Demi penyesatan yang berdalih perjuangan hak, mereka sampai berani memotong dan membuang kata dari kutipan hadits yang sangat prinsipil sebagai penentuan sebuah hukum. Sebagai contoh penulis pernah membaca buku yang berjudul "Peran Wanita Muslimah di Mata Umat",  namun sengaja tidak penulis sebutkan nama pengarangnya, yang isinya sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Khonsa' binti Khidzam : "Sesungguhnya ayahku telah menikahkan aku dengan keponakannya sedangkan aku tidak menyukainya. Kemudian aku melaporkan hal itu kepada Rosulullah SAW dan beliau berkata "perkenankanlah apa yang dilakukan oleh ayahmu" maka aku berkata "tapi aku sama sekali tidak menyukai apa yang diperbuat oleh ayahku" kemudian Rosulullah SAW memberi nasehat "pulanglah dan ia tidak berhak menikahkan, menikahlah dengan laki-laki yang engkau kehendaki". Lalu aku berkata dan akhirnya aku menerima apa yang diperbuat ayahku, tetapi aku ingin supaya semua mengetahui bahwasanya tidak ada hak bagi orang tua untuk memaksakan pernikahan putrinya.
Rosulullah SAW telah menyarankan supaya Khonsa' menerima keputusan ayahnya, karena memang begitulah semestinya sikap anak. Karena seperti yang kita ketahui bahwa semua orang tua menginginkan kebaikan dan kebahagiaan bagi putra putrinya. Tetapi begitu melihat Khonsa' menolak pernikahan itu, beliau memberikan kebebasan untuk memilih dan menyelamatkannya dari kedholiman sang ayah kepada putrinya sendiri yaitu memaksa untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya.
Dua paragraph diatas menerangkan bahwa orang tua tidak memiliki hak memaksa putrinya untuk menikah berdasarkan kisah dari Khonsa' bin Khidzam dimana Rosulullah SAW memberi kebebasan untuk memilih pendamping yang dikehendakinya. Namun disitu tidak membedakan antara perawan (bikr) dan janda (tsayyib) sehingga dapat menimbulkan pemahaman bahwa orang tua sama sekali tidak memiliki hak ijbar meskipun pada anak perawannya. Padahal sudah diterangkan diatas bahwa dalam Islam ayah memiliki hak untuk menikahkan anak perawannya meski tanpa meminta persetujuan si gadis asalkan memenuhi seluruh syaratnya. Setelah penulis mencoba menelusuri tentang kisah Khonsa' diatas, ternyata dalam riwayat shohih diceritakan bahawa pada waktu kejadian itu Khonsa' binti khidzam adalah janda bukan bikr (perawan) sebagai manatermaktub dalam kitab As-Sunan Al-Kubro karya Imam Baihaqi dan dalam kitab Shohih Bukhori. Dari itu perlu hati-hati bagi para pencinta pengetahuan dan pembaca buku dalam memahami teks-teks yang dibaca, seyogyanya dicari perbandingannya dan ditelusuri bila mana mencantumkan hadits atau maqolah para ulama khawatir ada pemerkosaan redaksi ataupun yang ditulis hanya fiktif belaka.
Serangan logis juga tak henti-henti menggerilya pemikiran manusia Indonesia. Sehingga timbul penalaran logis bahwa zaman sekarang yang penuh dengan ilmu pengetahuan di mana semua orang berhak mengenyam pendidikan sudah barang tentu bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk, apalagi dalam masalah pendamping hidup. Sehingga sangat tidak logis jika masih ada pemaksaan dalam hal perjodohan hanya karena kepentingan orang tua tanpa menghiraukan perasaan sang anak yang tidak mengenal siapa dan seperti apa yang akan menjadi pendamping hidupnya. Bukankah dengan begitu orang tua justru menyakiti hati anaknya yang dinikahkan dengan selain pilihan hatinya? Kondisi seperti ini dapat membuat hubungan antara anak dan orang tua menjadi renggang atau bahkan anak menjadi durhaka kepada orang tua.
Pada kenyataannya memang demikian, jika sang anak tidak sejalan dengan pemikiran orang tuanya maka dampak negatif kepada kepribadian anak seringkali menjadi dilema. Dia menjadi pembangkang, sulit diatur, jarang komunikasi sampai ada yang kabur dari rumah atau bahkan bunuh diri.
Terlebih jika masih dalam masa pendidikan yang seharusnya fokus menimba ilmu. Tapi karena perjodohan yang tidak diinginkan, sang anak menjadi terganggu konsentrasi belajarnya. Hari-hari akan dijalani dengan sia-sia hanya melamun saja yang akhirnya tujuan orang tua untuk membekali anaknya dengan ilmu akan gagal seolah percuma membuang harta untuk biaya pendidikan.
Ditambah lagi jika mempunyai pilihan lain dan masih berhubungan, keterjerumusan anak pada pergaulan bebas tak bisa dipungkiri. Dapat dipastikan dia akan lebih memilih kekasihnya dari pada mendengar dan menuruti kemauan orang tuanya. Ujung-ujungnya pelampiasan kemarahan, kekecewaan dan pemberontakan anak dengan cara apapun akan dilakukan agar orang tuanya mau atau bahkan terpaksa memberi kesempatan pada dirinya untuk memilih siapa yang dicintai sebagai suami. Akibatnya pun fatal. Hanya dengan alasan cinta dan ingin memiliki yang dicintai seutuhnya dia rela menyerahkan jiwa raganya pada lelaki yang dicintai dan pulang-pulang sudah mengandung karena menurutnya hanya dengan jalan ini ia bisa mempertahankan cinta. Apakah sebagai orang tua tidak menyesal jika harapan kebaikan justru berbuah hal yang memalukan.
Kebanyakan orang tua bersikukuh mempertahankan kehendaknya untuk menikahkan anaknya dengan lelaki pilihan mereka apapun yang terjadi, tidak peduli apakah anaknya bahagia atau tidak. Terkadang mereka berdalih “kebahagiaan dalam hubungan pernikahan tidak dijamin hanya dengan cinta belaka”, banyak orang bahagia meski tanpa berdasar cinta”. Setelah anaknya berhasil dinikahkan, ternyata bukan kebahagiaan yang didapat akan tetapi ketidakharmonisan yang berujung percekcokan bahkan sampai perceraian. Semua menjadi rumit ditambah lagi biaya cerai setinggi langit.
Di sisi lain masih banyak pula yang mempertahankan tradisi perjodohan baik anak ataupun bapak, mereka mengaku bahagia meski tidak berawal dari pilihan hati sendiri. Ada juga yang mendefinisikan bahwa cinta sejati adalah cinta yang dibangun setelah akad nikah, jadi tak perlu terlalu mempersoalkan tentang cinta dalam menuju tali pernikahan. Mereka lebih memilih Sam’an Wa Tho’atan kepada orang tua yang telah merawat dan mendidiknya sejak lahir. Mereka percaya bahwa pilihan orang tua pasti untuk kebaikan sang anak jua. Diakui ataupun tidak yang demikian cenderung lebih sejuk dirasakan dari pada ribut berujung fatal. Semua tergantung bagaimana orang tua mendidik dan memberi pengertian sang anak dan juga penerimaan serta pemahaman sang anak akan arahan dan bimbingan orang tua.
Saat mencoba bertanya kepada beberapa perempuan tentang perjodohan paksa, jawaban mereka bervariatif dan agak sedikit menggelitik. Ada yang bilang “Enggak”artinya dia benar-benar tidak mau dijodohkan, ia hanya memilih orang yang menurutnya cocok. Ada pula yang mengatakan “Nopo terose tiang sepah”, dengan sepenuh hati ia menyerahkan semuanya kepada orang tua. Ada yang relatif, kalau cocok ya mau dan kalau tidak cocok ya maaf…nyari yang lain aja, kecuali kalau banyak duit…..
Sedang realita di sekitar kita, seorang perempuan yang benar-benar Sam’an Wa Tho’atan bagaikan satwa langka yang dilindungi dan sulit ditemukan adanya kecuali di kalangan priyayi atau kalangan orang-orang memegang teguh ajaran Islam. Sebaliknya, perempuan yang lebih memilih kebebasan banyak menyeruak di muka bumi ini bahkan memperjuangkan bagaimana caranya agar kebebasan untuk menikmati hak asasi bagi perempuan terwujud meski perjuangan mereka acap kali seolah menentang ajaran agama Islam.
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa dengan adanya sudut pandang yang berbeda antara hukum kemanusian yang dikemas dalam peraturan Negara dan hukum tuhan yang disampaikan melalui RosulNya sehingga menimbulkan karakter-karakter yang berbeda antara pro dan kontra pada konsep Ijbar, orang tua dituntut jeli untuk memahami karakter anak-anaknya, apakah tergolong pro ataukah yang kontra sehingga orang tua bisa lebih bijaksana dalam menentukan sebuah keputusan. Jika tergolong yang Sam’na Wa Tho’atan maka tiada masalah baginya untuk melakukan hak Ijbarnya dan sebaliknya jika sang anak tergolong yang kontra atau tidak jelas apakah pro ataukah kontra maka hendaknya orang tua berfikir dua kali untuk memaksakan anak pada pilihannya, sebab Rosulullah SAW. menyarankan kepada orang tua untuk menanyakan dan meminta persetujuan sang anak .
Tidak cukup sampai di situ, sang anak juga harus mengerti bahwa sebenarnya orang tua mempunyai hak atas dirinya dalam masalah memilihkan pendamping hidup. Sehingga jika dirasa ia tidak ada kecocokan maka hendaknya ia membicarakan baik-baik dengan orang tuanya dan tidak perlu melakukan hal-hal negatif yang justru memalukan orang yang telah merawatnya sejak kecil hanya karena mempertahankan cinta pada orang yang baru dikenal kemarin. Pointnya adalah perlu adanya keterbukaan antara orang tua dan anak, disertai dengan pengertian dan kebijakan tanpa melupakan kasih sayang yang sebenarnya sebagai bentuk keharmonisan yang akan tetap bertahan dan tidak bubar hanya karena terlalu memaksakan kehendak semata. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang mengerti dan bijaksana. Amiin.


Oleh : Nur Alamin  Ishaq ARTUBA
Siswa III Aliyah Madrasah Assunniyyah

Buletin

assunniyyah